Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SENGKANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Skg Zainuddin DITREKRIMUM POLDA SULAWESI SELATAN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 27 Jul. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Skg
Tanggal Surat Rabu, 27 Jul. 2022
Nomor Surat 024.1/Adv.MMRE.Pre/SKK/V/2022
Pemohon
NoNama
1Zainuddin
Termohon
NoNama
1DITREKRIMUM POLDA SULAWESI SELATAN
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

PERMOHONAN PRAPERADILAN

  ATAS NAMA PEMOHON : ZAINUDDIN,Cs

 Terhadap

 Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pengancaman dan  Pengrusakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Suawesi selatan Direktorat Reserse Kriminal Umum.

 MELAWAN

 DITREKRIMUM POLDA SULAWESI SELATAN

 Sebagai TERMOHON

 

Oleh :

Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum

MAKMUR M RAONA & REKAN

 DI PENGADILAN NEGERI SENGKANG

Kepada Yth.

KETUA PENGADILAN NEGERI SENGKANG

Jl. Bau Baharuddin No.9 Sengkang

Hal    :        Permohonan Praperadilan atas Nama ZAINUDDIN,Cs

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

H.MAKMUR M RAONA, SH., MH., MUHAMMAD RUSLI, SH. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada “MAKMUR M RAONA & REKAN” Advocate & Legal Consultant yang beralamat di Jl. H.Andi Abu Bakar No.1 Kota Parepare Sulawesi Selatan,, HP. 08114211969, Email : raona1974@gmail..com.

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal No.024.1/Adv-MMR-Pre/SKK/Vii/2022, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama ZAINUDDIN selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ———————————————————————————-

——————————–M E L A W A N——————————–

DITREKRIMUM POLDA SULAWESI SELATAN yang beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan 55 Makassar selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ——————————————————————————————–

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Pengancaman dan  Pengrusakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Sulawesi Selatan Direktorat Reserse Kriminal Umum.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  •  
    1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
    2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
    3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  •  
    1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
    2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian,

bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

  •  
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
    2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
    3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
    4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
    5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
    6. Dan lain sebagainya

f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

      II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

      1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

    • Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
    • Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
    • “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
    • Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
    • Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat undangan klarifikasi oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor B/5143/XII/RES.1.11/2021/Krimum tertanggal 30 desember 2021,selanjutnya Pemohon sebagai Tersangka dipanggil oeh Termohon berdasarkan Surat panggilan No : S.Pgl/573/IV/Res.1.11./2022/Ditreskrimum untuk diambil keterangan tambahan,dan Termohon pada tanggal 14 April 2022 memaggil dengan surat Panggilan No S.Pgl  tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 7 april 2021
    • Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanyaTidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Selatan
    • Bahwa tindakan Termohon dalam mengirim SPDP No,A3/18/i/res.1.11/2022/Ditreskrimum tanggal 28 Januari 2022 kepada Kepala Kejaksaan tinggi Sulawesi selatan adalah cacat hukum bertentangan dengan Perkap No 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana,dimana Pemohon ditetapkan selaku Tersangka pada tanggal 1 April 2022,dan Pemeriksaan terhadap Pemohon selaku saksi pada tanggal 27 dan tanggal 28 Juni 2022 .
    • Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
    • 2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

    • Bahwa penetapan tersangka oleh termohon atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/485/IV/2022/Ditreskrimum tertanggal 14 April 2022. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai
    • Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
    • Bahwa Termohon berdasarkan hasil gelar perkara telah menetapkan Pemohon dari saksi ke Tersangka pada tanggal 1 April 2022.sedangkan Pemohon diperiksa selaku saksi pada tanggal 27 juni dan tanggal 28 juni 2022,sedangkan Pemohon baru ilakkan pemeriksaan sebagaisaksi pada tangal 27 juni dan tangal 28 juni 2022 
    • Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,penetapan terangka pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
    • Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
    • Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penetapan Tersangka,penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
    • Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
    • 3. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN

    • Bahwa Termohon melakukan peningkatan status dari saksi ke Tersangka terhadap Pemohon  pada tanggal 1 april 2022 dari hasil gelar perkara melalui surat penetapan tentang peralihan status No.S.Tap/40/IV/RES.1.11/2022/Krimum tanggal 6 april 2022, pada tanggal 14 April 2022 Pemohon dipanggil untuk dimintai keterangan untuk yang pertama kalinya sebagai tersangka melalui surat panggilan dengan Nomor SPGL/485/IV/2022/Ditreskrimum tertanggal 11 April 2022 Kemudian selanjutnya terdapat 3 (tiga) kali pemanggilan oleh Termohon,dan pada tanggal 9 Mei 2022 Pemohon dipanggil oleh Termohon  kedua kalinya berdasarkan surat Panggilan No.S.Pgl.573/IV/Res,1.11/2022/Ditreskrimum tanggal 18 April 2022, dan dilanjutkan pemanggilan oleh termohon kepada Pemohon untuk ketiga kalinya dengan berdasarkan surat panggilan No.S.Pgl/688/VI//Res.1.11./2022/Ditrekrimum tertanggal 3 juni 2022 hadir pada tanggal 8 juni 2022,untuk didengar keterangan tambahan sebagai Tersangka,selanjutnya keempat kalinya termhon kembali memanggil Pemohon pada tanggal 24 juni 2022 berdasarkan surat panggilan No.S.Pgl/6880/VI/RES/1/11//2022/Ditreskrimum tertanggal 14 juni 2022 yang mana dalam surat panggilan  tersebut oleh Pemohon tidak hadir pada pemeriksaan,namun telah memberikan alasan yang patut,sehingga Pemohon baru memenuhi setelah adanya panggilan kedua untuk pemeriksaan
    • dalam rangka memberikan keterangan tambahan,namun kenyataannya pada tanggal 27 juni dan tanggal 28 juni 2022 Pemohon justru diperiksa selaku saksi

    • Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana pemeriksaan terhadap Pemohon yang didahului dengan pemeriksan sebagai Tersangka selama 4 (empat) kali berturut turut,baru diperiksa sebagai saksi
    • PEMANGGILAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON CACAT HUKUM

    • Bahwa  Termohon sejak awal melakukan pemanggilan dilakukan dengan cara menggunakan jasa kurir,dan jasa sopir angkutan,sehingga demikian Termohon telah meminyam dari ketentuan KUHAP yang mengatur tentang tata cara pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 227 ayat 2 KUHAP yang berbunyi Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda tangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya.namun kenyataannya pemangilan dilakukan oleh termohon hanya menunakan jasa kurir,dan jasa sopir angkutan darat,
    • Bahwa pada tanggal 9 Mei 2022 Pemohon mengajukan permohonan permintaan Turunan Berita Acara kepada Termohon,namun Termohon hanya menjanjikan saja akan memberikan,namun pada kenyataannya Termoho tidak menyerahkan Turunan Berita Acara Pemeriksaan,sehingga tindakan dapat inila sebagai Penolakan,atas tindakan tersebut Termohon telah  melanggar ketentuan Pasal 72 KUHAP yang berbunyi “Atas permintaan Tersangka atau Penasehat hukum pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya”
    • Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.
    • Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam hal peningkatkan proses penyidikan unuk membuat terang terjadinya perbuatan pidana dan segera menetukan siapa tersangkanya,namun Termohon terlebih dahulu menetapkan dan atau memeriksa Pemohon sebagai tersangka lalu kemudian diperiksa sebagai saksi
    • Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menetapkan Pemohon selaku tesangka akan tetapi masih dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka surat panggilan tersebut merupakan panggilan yang tidak sah dikarenakan tinakan demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.
    • 4. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

    • Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Pengancaman dan Pengrusakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Sulawesi Selatan Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan 2 (dua) orang Saksi, yaitu 1 keterangan Muh Saleh,2 keterangan Hj.Hasanawati dan dengan barang bukti berupa rantai/parang dan gembok yang telah disita,
    • Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1
    • angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
    • Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Pengancaman dan Pengrusakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Sulawesi Selatan Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti keterangan pelapor semata
    • Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor adalah saudara kandung, dimana Pemohon hanya datang mencegah Pelapor agar tidak melakukan pemanenan atas sarang burung wallet yang terletak didalam Bangunan yang merupakan obyek sengketa kewarisan yang masih sedang berproses ditingkat Mahkama Agung melalui Peninjaun kembali,dan terhadap dugaan pengrusakan yang dituduhkan kepada Pemohon adalah bukan merupakan pengrusakan,oleh karena Gembok yang terpasang pada gagang pintu bangunan merupakan milik pemohon yang sebelumnya telah dipasang dibangunan yang menjadi obyek sengketa,sehingga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Pengrusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena itu unsure-unsur tindak pidana yang disangkakan terhadap diri Pemohon tidak terpenuhi
    • Bahwa berdasar atas sangkaan terhadap diri Pemohon yang diduga melakukan Pengancaman tidak cukup bukti,oleh karena Pemohon hanya melontarkan kata-kata yang ditujukan kepada Pelapor dengan kalimat “Keluarko daari situ tidak hakmu”tidak mengandung ancaman sehingga hal tindakan Pemohon  tidak menimbulkan ketakutan dan atau kecemasan bagi diri pelapor,oleh karena hingga sekarang Terlapor masih menguasai bangunan gedung yang masih menjadi obyek sengketa,sehingga Tindak pidana pengancaman yang disangkakan oleh  Termohon kepada Pemohon tidak memenuhi unsure-unsur Pengancaman
    • Bahwa hal itu juga diperkuat dengan arang bukti yang disita oleh termohon berupa gembok adalah merupakan milik Pemohon yang sebelumnya telah dipasang pada bangunan gedung sarang wallet yang menjadi obyek sengketa
    • Bahwa Laporan polisi atas dugaan tindak pidana pengrusakan dan pengancaman yang disangkakan pada diri Pemohon oleh Termohon,sebelunya pernah diproses oleh Penyidik Kepolisian Resor Wajo,namun oleh Penyidik Kepolisian resor Wajo menghentikan laporan tersebut,karena dinilai tidak ada perbuatan pidana sehingga PenyidikPolres Wajo menghentikan proses hukumnya (Bukti terlampir) 
    • Bahwa atas perbuatan pidana yang disangkan terhadap diri Pemohon,tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Pengrusakan dan  Pengancaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon. 
    • Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
    • 5. PERBUATAN TEROHON MELAKUKAN PENYITAAN TANPA PERMINTAAN IZIN PENGADILAN

    • Bahwa penyitaan atas benda berupa parang dan gembok oleh termohon dilakukan secara tidak sah oleh karena tanpa melalui Penetapan Pengadilan Negeri Sengkang,dan barang berupa parang dan gembok yang disita oleh Termohon diperoleh dari Pelapor.
    • Bahwa barang bukti parang yang disita oleh Termohon adalah barang milik Pemohon yang tersimpan diekat lokasi bangunan gedung sarang burung walet,namun  oleh Pelapor Hj.Hasnawati,mengambilnya dan diserahkan pada saat melakukan Pelaporan
    • Bahwa barang bukti berupa gembok yang sudah rusak adalah milik Pemohon,yang telah dirusak oleh Pelapor pada saat pelapor akan memasuki bangunan gedung untuk memanen sarang walet
    • Bahwa atas uraian tersebet diatas tidak satupun diantara barang bukti yang disita oleh Termohon dilakukan dengan cara dan menurut  ketentuan hukum yang berlaku
    • 6. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

    • Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
    • Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari
    • keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

      3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’

      4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

      5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

      – ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

      – dibuat sesuai prosedur; dan

      – substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

                  Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

      6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan para Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

    •  “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
    • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
    • 7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada para Pemohon dengan menetapkan para Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Sengkang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap para Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

Pihak Dipublikasikan Ya