Petitum Permohonan |
PERMOHONAN PRAPERADILAN
ATAS NAMA PEMOHON : AHMAD MATTULADA BIN PALALOI URU
……………………………………………………………………
Terhadap
Penangkapan,Penahanan dan Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika oleh Polri Daerah Suawesi selatan Direktorat Reserse Narkoba.
MELAWAN
DIREKTORAT RESERSE NARKOBA POLDA SULAWESI SELATAN
Sebagai TERMOHON
Oleh :
Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum
MAKMUR M RAONA & REKAN
DI PENGADILAN NEGERI SENGKANG
Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI SENGKANG
Jl. Bau Baharuddin No.9 Sengkang
Hal : Permohonan Praperadilan atas Nama AHMAD MATTULADA BIN PALALOI URU
Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
H.MAKMUR M RAONA, SH., MH., MUHAMMAD RUSLI, SH. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada “MAKMUR M RAONA & REKAN” Advocate & Legal Consultant yang beralamat di Jl. H.Andi Abu Bakar No.1 Kota Parepare Sulawesi Selatan,, HP. 08114211969, Email : raona1974@gmail..com.
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus No.027.1/Adv-MMR- Pre/SKK/VIII/2023, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas
2
nama AHMAD MATTULADA BIN PALALOI URU selanjutnya disebut sebagai PEMOHON —— —————————————————————————- ——————————–M E L A W A N——————————–
DIREKTORAT RESERSE NARKOBA POLDA SULAWESI SELATAN yang beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan 55 Makassar selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ——————— ———————————————————————–
untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penangkapan,Penahanan dan Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak pidana Narkotika, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika oleh Polri Daerah Sulawesi Selatan Direktorat Reserse Narkoba.
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law.Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara.Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian,
bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. 2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. 3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang- kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
5
4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. 5. Bahwa Pemohon tidak pernah dipanggil untuk dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka.(Saksi),namun Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon pada tanggal 6 Juli 2023 6. Untuk itu berdasar pada Putusan Mahkama Konstitusi (MK)nomor 21/PUU-XII/2014 Frasa “ Bukti permulaan” Bukti Permulaan yang cukup,dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14 Pasal 17,dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang- kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangka,namun hal tersebut oleh Termohon tidak dilakukan pemeriksaan sebagai calon Tersangka terhadap Pemohon,dikarenakan putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku asas res Judicata (Putusan hakim harus dianggap benar)serta putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum),maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Narkoba Polda Sulawesi selatan 7. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,penetapan terSangka pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. 8. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik sebagaimana dimaksud pasal 1 Angka 2 KUHAP, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. 9. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penetapan Tersangka,penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon. 10. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
6
2. TERMOHON TIDAK MELAKUKAN PEMANGGILAN TERHADAP PEMOHON
Bahwa Termohon tidak pernah melakukan pemanggilan secara sah kepada Pemohon,namun Termohon langsung melakukan Penangkapan terhadap Pemohon 2. Bahwa Termohon pada saat melakukan upaya Paksa Penangkapan Terhadap Pemohon pada hari Jumat tanggal 30 juni 2023,Termohon tidak memperlihatkan Surat Tugas dan surat Perintah Penangkapan kepada Pemohon maupun tembusan surat perintah Penangkapan kepada keluarga Pemohon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3)KUHAP 3. Bahwa Termohon melakukan Penangkapan terhadap diri Pemohon,telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 Kuhap yang berbunyi “ Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan ti8ndak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup “ 4. Bahwa Pemohon pada saat dimintai keterangan oleh Termohon tidak didampingi oleh Penasehat hukum,sehingga tindakan Termohon bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur didalam Pasal 56 KUHAP yang berbunyi “Dalam Hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau diancam pidana lima belas tahun atau lebih atau bagui mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasehat Hukum sendiri,Pejabata yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan didalam proses Peradilan wajib menunjuk Penasehat hukum bagi mereka. 5. Bahwa Berkas Berita acara pemeriksaan terhadap Pemohon yang dibuat oleh Termohon adalah hasil rekayasa Termohon,oleh karena pada saat dilakukan pemeriksaan terhadap Pemohon tidak diberi kesempatan untuk membaca Berita acara pemeriksaan sebelum dibubuhi tanda tanagan oleh Pemohon,dan isi Berita acara Pmeriksaan tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Pemohon,namun diketahui oleh Pemohon isi Berita acara Pemeriksaan selaku Tersangka setrelah kuasa mendapatkan kutipan Berita acara Pemeriksaan dari Trmohon 6. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas,tindakan Termohon yang melakukan penagkapan tanpa didahului dengan Pemanggilan mengakibatkan tindakan Termohon dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
3. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
1
Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan satu orang saksi (Unus testis nullus testis) dan Barang bukti yang telah disita, 2. Bahwa Termohon kurang memahami makna “ bukti permulaan “ ialah suatu nilai bukti yang telah “Mampu” atau telah “Selaras” untuk menduga seseorang sebagai Tersangka,artinya bukti yang telah dijumpai dan dimilki oleh Penyidik telah bersesuain dengan keadaan yang dijumpai pada seseorang 3. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU- XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam pasal 1 angka 14,KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP. 4. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak pidana sebagaimana dimaksud
7
dalam Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang narkotika oleh Polri Daerah Sulawesi Selatan Direktorat Reserse Narkoba kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, Termohon hanya mendasari keterangan Saksi AHMAD MUSTHABA Bin ALI BAKKARENG semata (Unus testis nullus testis) 5. Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon,Termohon telah melakukan tindakan yang melanggar Hak asasi Pemohon sebagai pihak yang harus dilindung berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan,perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum” 6. Bahwa atas perbuatan pidana yang disangkakan terhadap diri Pemohon,tidak dapat dikatakan sebagai Pelaku terlebih lebih Pemohon dapat kenakan Pasal- Pasal dalam rumusan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) Jo 132 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 7. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
6.PENANGKAPAN,PENAHANAN DAN PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan. 2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari
keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penangkapa,Penahana dan Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan cara melakukan penangkapan, penahanan dan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Sengkang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
9
III. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya; 2. Menyatakan tindakan Termohon melakukan Penangkapan,Penahanan dan menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1)Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika oleh Termohon (Polri Daerah Sulawesi Selatan Direktorat Reserse Narkoba) adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penangkapan,Penahanan dan penetapan Tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penangkapan,Penahanan dan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon; 4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon dan membebaskan Pemohon seketika sejak adanya putusan; 5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; 6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
MOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Sengkang, 7 Agustus 2023
Hormat kami,
Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada kantor hukum
MAKMUR M RAONA & REKAN |